Salah
satu konsekuensi membiarkan tanaman dan tetumbuhkan melanjutkan hidupnya di
area rumah adalah munculnya kehidupan-kehidupan lain di sekitarnya. Sejak
pandan diberikan wilayah lebih luas karena banyak tetangga membutuhkannya,
bambu air menempati petak kosong di sisi pintu ruang tamu, bibit-bibit jambu
disemai dan cemara didirikan kembali di samping rumah, maka mulailah kerap
terlihat bekicot, capung, dan katak seibujari. Tempo hari saat matahari masih
ranum tiba-tiba seekor kadal berjemur tanpa sungkan tak jauh dari batang
cemara. Dia sama sekali tak memperlihatkan gerak-gerik panik. Justru saya yang
memintanya cepat pulang karena biasanya anjing-anjing saya akan mengajak
bermain tanpa menyadari cengkeraman dan gigi mereka kelewat tajam untuk si
teman baru. Tapi karena tidak tega memutus kesenangan si kadal maka diambil
jalan tengah: pintu menuju halaman samping ditutup sementara.
Yang
paling mendebarkan adalah pertemuan dengan seekor ular yang menyusup sampai
depan kamar mandi. Karena malam itu lampu-lampu sudah dimatikan wujudnya hampir
terlihat menyerupai sisa tali rafia yang tergeletak di lantai. Tersadar itu
bukan benda mati karena dia sendiri yang melayangkan pesan dengan mendongakkan
kepala meskipun kami masih berjarak dua meteran. Warnanya gelap, panjangnya
sekitar duapuluh senti, lebar tubuhnya tak lebih dari garis lingkar pinsil. Terus
terang saya agak panik karena pengetahuan menghadapi ular sama usangnya dengan
pelajaran bahasa morse kala berkostum coklat-coklat dengan merah-putih
menggantung di leher.
Di dekat
tempat saya berdiri ada sebilah bambu panjang tapi rasanya rikuh mendekatinya
dengan itu. Mungkin karena tidak mudeng cara mencapai deal saya malah lebih
sibuk menegok hasil pertandingan Manchester United ketimbang ribut-ribut
menyuruhnya pergi. Setelah dipastikan Liverpool yang menang baru dicek lagi.
Ular itu sudah tidak ada. Semua lampu dinyalakan, setiap celah dan kolong ditelusur,
jemuran disibakkan, sepatu-sepatu diangkat, saluran-saluran air disenteri, dia benar-benar
tidak tampak lagi. Saat akan ditinggal nonton bola dia memang sudah bergerak menuju
celah pintu yang terhubung ke dunia luar, jaraknya tinggal tiga meteran, jadi
saya anggap saja ular itu sudah tidak bertamu.
Mereka
agaknya seperti kita juga, kadang tak sanggup menahan keingintahuan dan terus
mencari kemapanan. Tapi begitu tahu wilayah interior ternyata tidak
menyenangkan si ular buru-buru kembali ke daerah asal. Pengalaman ini
mengingatkan adegan miris di dalam kotak kaca di kompleks reptil satu kebun
binatang. Kotak itu dirancang sebagai rumah sederhana yang menyenangkan untuk
sekeluarga kadal bertubuh kebiruan. Tata ruangnya sedap dipandang para tamu dan
pastinya perabot serta segala hal di dalam sana sudah disesuaikan dengan
kebutuhan penghuninya. Tapi salah satu di antara mereka tak lelah-lelahnya
menggeliatkan tubuh di ujung ruang untuk kemudian menabrakkan moncongnya ke
kaca.

Gerakan
menggeliat itu tampaknya upaya untuk mengumpulkan kekuatan penuh sebagaimana
kita menarik lengan ke belakang sebelum meninju. Dia tidak happy di rumah yang serba berkecukupan itu. Anggota keluarga yang
lain mungkin lebih sumeleh karena diam di tempat. Tapi bisa juga satu demi satu
akan bergantian mencoba memecah kaca begitu kita beranjak .. Who knows?
Analoginya
barangkali bisa disentuh-sentuhkan dengan tulisan Bre Redana “The Good Old
Time” di Kompas (Minggu 29 Januari
2012, halaman 23). “Sekarang, meski Starbucks dan sejumlah kafe mencoba
menghadirkan suasana ruang tamu dan ruang keluarga di tempat usahanya, tak
mungkin mereka bisa menyamai suasana ruang keluarga yang sesungguhnya,”
tulisnya. Bre menegaskannya sebagai ruang artifisial. Syukurlah saya tidak jadi
menggunakan bambu untuk menakut-nakuti si ular, karena dia sendiri tidak betah
kok. Dia lebih memilih pulang sesumpek apapun
rumahnya, yang penting merdeka.
Seorang
teman mengatakan kadal-kadal biru itu mewakili fauna yang habitat aslinya telah
ludes dilumat jaman. Jadi kebun binatang menjadi alternatif paling bijak untuk
menampung sehingga mereka bisa melanjutkan kehidupan. Wartawan Alan Weisman di
bukunya The World Without Us
menyinggung pergerakan satwa-satwa untuk menyesuaikan diri saat jumlah manusia
bertambah pesat, bahkan di Afrika zebra, wildebeest, dan burung unta membentuk
aliansi, persekutuan, dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing untuk bersama-sama
mempertahankan kemerdekaan dari jangkauan manusia. Jadi, saat kita sudah begitu
sibuk menjejalkan pandangan terkait mereka yang rasanya paling relevan dan
absolut, mahluk-mahluk di luar kita malah tidak pernah mandeg, tidak gampang menyerah, lebih siap mengembangkan diri.
Adam Herdanto