Kamis, 26 April 2012

DON : LIFE IN PHOTOGRAPHS


Di dunia fotografi Indonesia Don Hasman adalah legenda. Tapi Don tidak pernah mandeg, di usianya yang sudah lewat 70 tahun ia tidak pernah berhenti bergerak dan menjelajah. Energi dan spiritnya sekokoh saat mendaki Kilimanjaro dan melangkahkan kaki menelusuri jalur Santiago de Compostela sepanjang seribu kilometer.  
  
Bagi Don Hasman saat memotret sesama hubungan dengan sesama itu sendiri lebih penting ketimbang hasil fotonya. Hingga kini Don menjalin kedekatan dengan warga Baduy dan foto-fotonya menjadi anugerah bagi ilmu pengetahuan dan peradaban. Don : Life in Photographs merupakan dokumenter yang reflektif, memperlihatkan kepada kita dengan bening bahwa menjadi fotografer, menjadi pekerja media, pada basisnya adalah menjadi humanitarian.  Film ini menggali jiwa eksplorasi dan keseharian Don yang menakjubkan: kesederhanaan, kerendahhatian, dan respek pada sekitar yang terasa luar-biasa karena sudah terlanjur hilang dalam diri kita.

*) Format pendek dokumenter ini telah diputar di Institut Francais Indonesia (Lembaga Indonesia-Prancis) Yogyakarta 24 Februari 2012. Segera rilis versi home video (DVD).    

Selasa, 24 April 2012

LOST


Documentary, 2012, 52 min.

Di alam tercipta berbagai ragam binatang. Ada yang cantik, ada yang buruk rupa. Ada yang lucu, ada yang menakutkan. Dengan sendirinya mereka tercipta tidak hanya untuk keindahan, bukan diciptakan untuk menghias bumi. Setiap mahluk dianugerahi peranan dan terkait satu sama lain. Mestinya kita tidak perlu teriak-teriak dan lari terbirit-birit saat ulat bulu dan tomcat tiba-tiba muncul seperti wabah, karena selama ini kita membiarkan saja burung-burung dijerat dan dikoleksi. Tak adanya burung menimbulkan eksplosi: ulat bulu bersukacita tak ada pemangsanya dan tomcat menari-nari di kulit kita.

Dokumenter LOST dengan bening memperlihatkan bagaimana kita mengkorup ciptaan-Nya, memanipulasi peran mereka dalam hidup bersama. Hutan dikeroposi, monyet-monyet yang turun ke ladang karena kehilangan lahan kemudian dicap hama dan ditangkapi, dimakan, seolah kita bangsa yang kelaparan. Padahal biji-biji dalam kotorannya berperan menciptakan benih baru, tumbuhan baru, dengan menjadikan monyet sebagai musuh sekaligus mangsa makin tipislah kemungkinan hutan pulih.   
        
Akibat terbesar dari pencaplokan hutan dan eksploitasi satwa-satwanya akan dialami anak-anak kita sepuluh, duapuluh tahun kemudian. Erupsi hebat Gunung Merapi 2010 silam mestinya bikin kita kembali mawas: hutan yang sudah tipis tak sanggup menyaring material erupsi, sisa-sisa letusan itu kemudian terdorong hujan ke bawah, ke kota-kota, menyerupai monster sungai yang ganas, memapras beton-beton jembatan, memutus jalur utama Jogja-Semarang, menelan truk-truk pasir. Itu baru satu gunung. Padahal kita berpijak di alam yang labil dan terlanjur menjadi pribadi-pribadi yang tak mandiri, yang mengatasi sampah sendiripun tak mampu, tapi meraung-raung saat air yang tersumbat menumpuk jadi banjir.

LOST  merupakan sketsa-sketsa yang deskriptif mengenai ketidakjujuran kita terhadap alam dan sesama mahluk-Nya. Kita tidak pusing bajing dan monyet dikerangkeng dan diperjualbelikan di pasar karena menyepakati saja mereka hama; dan di pasar yang sama juga didisplay burung hantu yang mestinya memerangi tikus yang menggondol padi. Di kebun binatang kita terhibur menyaksikan orangutan mengunyah plastik dan beruang madu bermain gitar dengan garis-garis wajah lelah ..

Membiarkan hutan dihancurkan dan segala hal yang terkandung di dalamnya dikuras dan dieksploitir identik dengan turut berpartisipasi menghabiskan apa yang mestinya kelak dimiliki anak-anak kita. Kita tidak akan mewariskan apapun. Hanya meninggalkan hidup yang makin rumit.

Sebuah dokumenter yang patut disaksikan keluarga, para remaja dan kalangan pendidik.

Home video / DVD / Rp 35.000,-
Pemesanan via email: orcawildscreen@gmail.com

GOD'S GIFT TO MANKIND


Documentary, 2011, 24 min.

“Everyone thinks that we found this broken down horse and fixed him, but we didn’t. He fixed us, everyone of us, and I guess in a way we kinda fixed each other, too.” – Red Pollard, Seabiscuit (2003)

Nanang dulu kusir dan penjagal. Ia ditakuti kuda-kuda sakit. Jangan sampai dianggap tak bisa sembuh, karena Nanang akan membuatnya jadi bongkahan-bongkahan daging. Tapi keberadaannya di Jogja 18 Agustus 2011 sama sekali bukan demi festival kuliner atau turisme khas Jogja yang melibatkan kuda.

Saat liburan tiba Jogja memang menjadi begitu riuh. Kota terasa tak ingin rehat, dan di tengah suasana dinamis kuda menjadi rekanan yang paling repot. Andong yang ditariknya tak akan lama berdiam di jalur tunggu. Turut berpacu di jalanan utama yang kian padat, dengan beban yang lebih sarat, dan tanpa piranti teknis yang bisa mengindikasikan si kuda penat. Di Jogja andong adalah moda transportasi sehari-hari, karena tak dipensiun jaman andong larut dalam identitas budaya yang disukai turis-turis.

Kuda patut dianugerahi apresiasi dalam wujud atensi tidak hanya karena jasanya melanggengkan andong, tapi terlebih karena mereka memberikan pilihan untuk kelangsungan hidup manusia di sekitarnya di era sulit yang serba-mesin ini. Bersama tim Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Animal Friends Jogja (AFJ) Nanang mengunjungi Dusun Nglaren, Potorono, Kotagede yang secara turun-temurun dikenal sebagai sentra andong. Nanang menyempurnakan sepatu-sepatu kuda agar mereka menapak dengan nyaman dan tak harus selalu dipecuti. Sementara drh. Khalisia Wardani dan paramedis spesialis kuda dari Belanda Suzanne van der Weela memberikan medical check up intensif pada setiap kuda yang jumlahnya mencapai 30 ekor.   

Dokumenter ini menampilkan sketsa-sketsa yang menggetarkan hati. Nanang yang besar dan sangar kini mati-matian menyelamatkan kuda-kuda di hadapannya. Dan kita akan tersentuh menyaksikan kasih-sayang seekor kuda betina pada anaknya, juga sesal seorang kusir muda, “Kalau sudah tua memang dipotong, karena kita sangat butuh uangnya ..” Tapi ada juga yang membiarkannya mati secara lumrah dan dikubur layaknya teman.

“Waktu Merapi meletus kita ke sana untuk satwa yang butuh ditolong,” kisah Nanang. “Kita sendiri selamat, mungkin karena doa satwa-satwa itu ..” Matanya berkaca-kaca dan kalimatnya tak pernah selesai.   

*) Dokumenter ini ditayangkan TV Channel Kemanusiaan (Satelit Palapa D, frekuensi 3972 mhz)

ORANGUTAN : CRIMES AND MISDEMEANORS


Indonesia dianugerahi belantara dan orangutan. Itu sebabnya tiap kebun binatang ingin dan akan berusaha memiliki orangutan. Karena belantaranya makin tipis, makin gampang mendatangkan orangutan ke kerangkeng. Jaraknya dengan kita tinggal beberapa meter. Tapi kita ini memang tak suka dengan rasa cukup. Maka dibikinlah orangutan jadi badut, mengikuti tingkah-polah manusia, sebab hidup di dalam kandang bikin mereka serupa gabus, tak bisa dikagumi. Dengan latihan khusus dan intensif orangutan bisa bikin orang tertawa, terhibur, terbayar lunas karcisnya. Jadwal latihan dan show tentu melabrak kebiasaan naturalnya.     

Satu adegan dalam video “Orangutan Bukan Mainan” yang dirilis Centre for Orangutan Protection (COP) memperlihatkan bagaimana seekor orangutan ditempa jadi artis. Ia diberi buah, yang membuatnya mendekat ke jeruji. Lantas untuk menekan memorinya agar melakukan suatu atraksi kedua tangannya ditarik paksa tiga laki-laki hingga tubuhnya lekat ke besi kerangkeng. Ketiganya memukuli, menendangi tangannya sekeras-kerasnya. Lambat-laun wajah supelnya pudar dan meringis kesakitan. Ketiga laki-laki itu tak berhenti menghajarnya.

COP melakukan riset mendalam dan memantau kondisi orangutan di berbagai kebun binatang. Hasilnya, secara umum tidak dalam keadaan baik, dan menderita. “Kejahatan kita adalah membayar sejumlah uang kepada kebun binatang untuk terus melakukan kekejaman,” tegas Daniek Hendarto, representatif COP dalam siaran persnya 30 Juni 2011. “Perubahan hanya akan terjadi bila semua pihak, termasuk sekolah dan orangtua, tidak lagi mengorganisir kunjungan ke kebun binatang. Masih banyak cara yang lebih baik untuk mendidik siswa agar mencintai satwa liar dan alam. Misalnya berkemah atau kunjungan ke alam bebas untuk mengamati satwa liar langsung di habitatnya.”

Reportase : Aditya Herlambang & Ichsan R. Anggoro   

Senin, 23 April 2012

MACACA DAN KITA


Minggu pagi itu sebagaimana biasanya hari libur pasar terasa lebih padat. Anak-anak terlihat di berbagai sudut. Sebagian ditemani ayahnya, sebagian lainnya bersama teman-temannya.

Sekelompok anak yang berkumpul di satu titik menarik perhatian. Rupanya bocah-bocah itu mengerumuni tiga ekor kera yang sama bocahnya. Ketiganya tidak ditempatkan di dalam kandang, tapi di atasnya, dengan tali rafia dililitkan di masing-masing perut. Anak-anak senang bukan main karena bisa menyentuh dan berbagi kacang.

“Kalau di kebun binatang interaksi sama hewannya malah tidak bisa,” ujar Nursamsyiah, warga Bantul yang menyertai putrinya. “Ini sekalian melatih dia biar tidak takut hewan.” Sang Putri yang cantik baru enam tahun, ia tidak kunjung beranjak dari kera-kera teman barunya, melupakan rencananya membeli ikan.  
 
Beberapa pengunjung pasar menghentikan langkah untuk memotret ketiga kera bocah yang tingginya tak lebih dari tigapuluh centi itu. Termasuk seorang turis, wanita muda berambut pirang bergaun hitam panjang hingga tungkai. Ia menolak diwawancara.

Dari jarak dekat tampak jelas warna keemasan di tubuh mereka adalah rekayasa. Lengan dan paha mereka kelabu. Bulu di atas kepala diwarnai lebih terang, kemudian ditegakkan sedemikian rupa menyerupai tampilan kaum mohawk.  

Saat para tamu satu demi satu berlalu dan keadaan sekitar berangsur senyap, ketiga kera tiba-tiba saling mendekap erat. Kali ini tidak seekor pun merespon sekeliling dengan lugas. Kamera Ichsan Anggoro terarah ke mereka dari jarak terjaga, dalam bingkai statis, selama empatpuluh detik; dan selama itu sungguh terasakan kecemasan dan ketakutan yang tak terperi sekaligus rasa sayang di antara mereka  … – serta kemanusiaan kita yang tumpul.  


Reportase : Aditya Herlambang   Foto : Ichsan R. Anggoro

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON


Salah satu konsekuensi membiarkan tanaman dan tetumbuhkan melanjutkan hidupnya di area rumah adalah munculnya kehidupan-kehidupan lain di sekitarnya. Sejak pandan diberikan wilayah lebih luas karena banyak tetangga membutuhkannya, bambu air menempati petak kosong di sisi pintu ruang tamu, bibit-bibit jambu disemai dan cemara didirikan kembali di samping rumah, maka mulailah kerap terlihat bekicot, capung, dan katak seibujari. Tempo hari saat matahari masih ranum tiba-tiba seekor kadal berjemur tanpa sungkan tak jauh dari batang cemara. Dia sama sekali tak memperlihatkan gerak-gerik panik. Justru saya yang memintanya cepat pulang karena biasanya anjing-anjing saya akan mengajak bermain tanpa menyadari cengkeraman dan gigi mereka kelewat tajam untuk si teman baru. Tapi karena tidak tega memutus kesenangan si kadal maka diambil jalan tengah: pintu menuju halaman samping ditutup sementara.

Yang paling mendebarkan adalah pertemuan dengan seekor ular yang menyusup sampai depan kamar mandi. Karena malam itu lampu-lampu sudah dimatikan wujudnya hampir terlihat menyerupai sisa tali rafia yang tergeletak di lantai. Tersadar itu bukan benda mati karena dia sendiri yang melayangkan pesan dengan mendongakkan kepala meskipun kami masih berjarak dua meteran. Warnanya gelap, panjangnya sekitar duapuluh senti, lebar tubuhnya tak lebih dari garis lingkar pinsil. Terus terang saya agak panik karena pengetahuan menghadapi ular sama usangnya dengan pelajaran bahasa morse kala berkostum coklat-coklat dengan merah-putih menggantung di leher.

Di dekat tempat saya berdiri ada sebilah bambu panjang tapi rasanya rikuh mendekatinya dengan itu. Mungkin karena tidak mudeng cara mencapai deal saya malah lebih sibuk menegok hasil pertandingan Manchester United ketimbang ribut-ribut menyuruhnya pergi. Setelah dipastikan Liverpool yang menang baru dicek lagi. Ular itu sudah tidak ada. Semua lampu dinyalakan, setiap celah dan kolong ditelusur, jemuran disibakkan, sepatu-sepatu diangkat, saluran-saluran air disenteri, dia benar-benar tidak tampak lagi. Saat akan ditinggal nonton bola dia memang sudah bergerak menuju celah pintu yang terhubung ke dunia luar, jaraknya tinggal tiga meteran, jadi saya anggap saja ular itu sudah tidak bertamu.

Mereka agaknya seperti kita juga, kadang tak sanggup menahan keingintahuan dan terus mencari kemapanan. Tapi begitu tahu wilayah interior ternyata tidak menyenangkan si ular buru-buru kembali ke daerah asal. Pengalaman ini mengingatkan adegan miris di dalam kotak kaca di kompleks reptil satu kebun binatang. Kotak itu dirancang sebagai rumah sederhana yang menyenangkan untuk sekeluarga kadal bertubuh kebiruan. Tata ruangnya sedap dipandang para tamu dan pastinya perabot serta segala hal di dalam sana sudah disesuaikan dengan kebutuhan penghuninya. Tapi salah satu di antara mereka tak lelah-lelahnya menggeliatkan tubuh di ujung ruang untuk kemudian menabrakkan moncongnya ke kaca.

Gerakan menggeliat itu tampaknya upaya untuk mengumpulkan kekuatan penuh sebagaimana kita menarik lengan ke belakang sebelum meninju. Dia tidak happy di rumah yang serba berkecukupan itu. Anggota keluarga yang lain mungkin lebih sumeleh karena diam di tempat. Tapi bisa juga satu demi satu akan bergantian mencoba memecah kaca begitu kita beranjak .. Who knows?          

Analoginya barangkali bisa disentuh-sentuhkan dengan tulisan Bre Redana “The Good Old Time” di Kompas (Minggu 29 Januari 2012, halaman 23). “Sekarang, meski Starbucks dan sejumlah kafe mencoba menghadirkan suasana ruang tamu dan ruang keluarga di tempat usahanya, tak mungkin mereka bisa menyamai suasana ruang keluarga yang sesungguhnya,” tulisnya. Bre menegaskannya sebagai ruang artifisial. Syukurlah saya tidak jadi menggunakan bambu untuk menakut-nakuti si ular, karena dia sendiri tidak betah kok.  Dia lebih memilih pulang sesumpek apapun rumahnya, yang penting merdeka.

Seorang teman mengatakan kadal-kadal biru itu mewakili fauna yang habitat aslinya telah ludes dilumat jaman. Jadi kebun binatang menjadi alternatif paling bijak untuk menampung sehingga mereka bisa melanjutkan kehidupan. Wartawan Alan Weisman di bukunya The World Without Us menyinggung pergerakan satwa-satwa untuk menyesuaikan diri saat jumlah manusia bertambah pesat, bahkan di Afrika zebra, wildebeest, dan burung unta membentuk aliansi, persekutuan, dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing untuk bersama-sama mempertahankan kemerdekaan dari jangkauan manusia. Jadi, saat kita sudah begitu sibuk menjejalkan pandangan terkait mereka yang rasanya paling relevan dan absolut, mahluk-mahluk di luar kita malah tidak pernah mandeg, tidak gampang menyerah, lebih siap mengembangkan diri.    

Adam Herdanto

THE CORE OF A MAN'S SPIRIT



The very basic core of a man’s living spirit is his passion for adventure. The joy of life comes from our encounters with new experiences, and hence there is no greater joy than to have an endlessly changing horizon, for each day to have a new and different sun.

Chris McCandless (1968 – 1992)