Kamis, 26 April 2012

DON : LIFE IN PHOTOGRAPHS


Di dunia fotografi Indonesia Don Hasman adalah legenda. Tapi Don tidak pernah mandeg, di usianya yang sudah lewat 70 tahun ia tidak pernah berhenti bergerak dan menjelajah. Energi dan spiritnya sekokoh saat mendaki Kilimanjaro dan melangkahkan kaki menelusuri jalur Santiago de Compostela sepanjang seribu kilometer.  
  
Bagi Don Hasman saat memotret sesama hubungan dengan sesama itu sendiri lebih penting ketimbang hasil fotonya. Hingga kini Don menjalin kedekatan dengan warga Baduy dan foto-fotonya menjadi anugerah bagi ilmu pengetahuan dan peradaban. Don : Life in Photographs merupakan dokumenter yang reflektif, memperlihatkan kepada kita dengan bening bahwa menjadi fotografer, menjadi pekerja media, pada basisnya adalah menjadi humanitarian.  Film ini menggali jiwa eksplorasi dan keseharian Don yang menakjubkan: kesederhanaan, kerendahhatian, dan respek pada sekitar yang terasa luar-biasa karena sudah terlanjur hilang dalam diri kita.

*) Format pendek dokumenter ini telah diputar di Institut Francais Indonesia (Lembaga Indonesia-Prancis) Yogyakarta 24 Februari 2012. Segera rilis versi home video (DVD).    

Selasa, 24 April 2012

LOST


Documentary, 2012, 52 min.

Di alam tercipta berbagai ragam binatang. Ada yang cantik, ada yang buruk rupa. Ada yang lucu, ada yang menakutkan. Dengan sendirinya mereka tercipta tidak hanya untuk keindahan, bukan diciptakan untuk menghias bumi. Setiap mahluk dianugerahi peranan dan terkait satu sama lain. Mestinya kita tidak perlu teriak-teriak dan lari terbirit-birit saat ulat bulu dan tomcat tiba-tiba muncul seperti wabah, karena selama ini kita membiarkan saja burung-burung dijerat dan dikoleksi. Tak adanya burung menimbulkan eksplosi: ulat bulu bersukacita tak ada pemangsanya dan tomcat menari-nari di kulit kita.

Dokumenter LOST dengan bening memperlihatkan bagaimana kita mengkorup ciptaan-Nya, memanipulasi peran mereka dalam hidup bersama. Hutan dikeroposi, monyet-monyet yang turun ke ladang karena kehilangan lahan kemudian dicap hama dan ditangkapi, dimakan, seolah kita bangsa yang kelaparan. Padahal biji-biji dalam kotorannya berperan menciptakan benih baru, tumbuhan baru, dengan menjadikan monyet sebagai musuh sekaligus mangsa makin tipislah kemungkinan hutan pulih.   
        
Akibat terbesar dari pencaplokan hutan dan eksploitasi satwa-satwanya akan dialami anak-anak kita sepuluh, duapuluh tahun kemudian. Erupsi hebat Gunung Merapi 2010 silam mestinya bikin kita kembali mawas: hutan yang sudah tipis tak sanggup menyaring material erupsi, sisa-sisa letusan itu kemudian terdorong hujan ke bawah, ke kota-kota, menyerupai monster sungai yang ganas, memapras beton-beton jembatan, memutus jalur utama Jogja-Semarang, menelan truk-truk pasir. Itu baru satu gunung. Padahal kita berpijak di alam yang labil dan terlanjur menjadi pribadi-pribadi yang tak mandiri, yang mengatasi sampah sendiripun tak mampu, tapi meraung-raung saat air yang tersumbat menumpuk jadi banjir.

LOST  merupakan sketsa-sketsa yang deskriptif mengenai ketidakjujuran kita terhadap alam dan sesama mahluk-Nya. Kita tidak pusing bajing dan monyet dikerangkeng dan diperjualbelikan di pasar karena menyepakati saja mereka hama; dan di pasar yang sama juga didisplay burung hantu yang mestinya memerangi tikus yang menggondol padi. Di kebun binatang kita terhibur menyaksikan orangutan mengunyah plastik dan beruang madu bermain gitar dengan garis-garis wajah lelah ..

Membiarkan hutan dihancurkan dan segala hal yang terkandung di dalamnya dikuras dan dieksploitir identik dengan turut berpartisipasi menghabiskan apa yang mestinya kelak dimiliki anak-anak kita. Kita tidak akan mewariskan apapun. Hanya meninggalkan hidup yang makin rumit.

Sebuah dokumenter yang patut disaksikan keluarga, para remaja dan kalangan pendidik.

Home video / DVD / Rp 35.000,-
Pemesanan via email: orcawildscreen@gmail.com

GOD'S GIFT TO MANKIND


Documentary, 2011, 24 min.

“Everyone thinks that we found this broken down horse and fixed him, but we didn’t. He fixed us, everyone of us, and I guess in a way we kinda fixed each other, too.” – Red Pollard, Seabiscuit (2003)

Nanang dulu kusir dan penjagal. Ia ditakuti kuda-kuda sakit. Jangan sampai dianggap tak bisa sembuh, karena Nanang akan membuatnya jadi bongkahan-bongkahan daging. Tapi keberadaannya di Jogja 18 Agustus 2011 sama sekali bukan demi festival kuliner atau turisme khas Jogja yang melibatkan kuda.

Saat liburan tiba Jogja memang menjadi begitu riuh. Kota terasa tak ingin rehat, dan di tengah suasana dinamis kuda menjadi rekanan yang paling repot. Andong yang ditariknya tak akan lama berdiam di jalur tunggu. Turut berpacu di jalanan utama yang kian padat, dengan beban yang lebih sarat, dan tanpa piranti teknis yang bisa mengindikasikan si kuda penat. Di Jogja andong adalah moda transportasi sehari-hari, karena tak dipensiun jaman andong larut dalam identitas budaya yang disukai turis-turis.

Kuda patut dianugerahi apresiasi dalam wujud atensi tidak hanya karena jasanya melanggengkan andong, tapi terlebih karena mereka memberikan pilihan untuk kelangsungan hidup manusia di sekitarnya di era sulit yang serba-mesin ini. Bersama tim Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Animal Friends Jogja (AFJ) Nanang mengunjungi Dusun Nglaren, Potorono, Kotagede yang secara turun-temurun dikenal sebagai sentra andong. Nanang menyempurnakan sepatu-sepatu kuda agar mereka menapak dengan nyaman dan tak harus selalu dipecuti. Sementara drh. Khalisia Wardani dan paramedis spesialis kuda dari Belanda Suzanne van der Weela memberikan medical check up intensif pada setiap kuda yang jumlahnya mencapai 30 ekor.   

Dokumenter ini menampilkan sketsa-sketsa yang menggetarkan hati. Nanang yang besar dan sangar kini mati-matian menyelamatkan kuda-kuda di hadapannya. Dan kita akan tersentuh menyaksikan kasih-sayang seekor kuda betina pada anaknya, juga sesal seorang kusir muda, “Kalau sudah tua memang dipotong, karena kita sangat butuh uangnya ..” Tapi ada juga yang membiarkannya mati secara lumrah dan dikubur layaknya teman.

“Waktu Merapi meletus kita ke sana untuk satwa yang butuh ditolong,” kisah Nanang. “Kita sendiri selamat, mungkin karena doa satwa-satwa itu ..” Matanya berkaca-kaca dan kalimatnya tak pernah selesai.   

*) Dokumenter ini ditayangkan TV Channel Kemanusiaan (Satelit Palapa D, frekuensi 3972 mhz)

ORANGUTAN : CRIMES AND MISDEMEANORS


Indonesia dianugerahi belantara dan orangutan. Itu sebabnya tiap kebun binatang ingin dan akan berusaha memiliki orangutan. Karena belantaranya makin tipis, makin gampang mendatangkan orangutan ke kerangkeng. Jaraknya dengan kita tinggal beberapa meter. Tapi kita ini memang tak suka dengan rasa cukup. Maka dibikinlah orangutan jadi badut, mengikuti tingkah-polah manusia, sebab hidup di dalam kandang bikin mereka serupa gabus, tak bisa dikagumi. Dengan latihan khusus dan intensif orangutan bisa bikin orang tertawa, terhibur, terbayar lunas karcisnya. Jadwal latihan dan show tentu melabrak kebiasaan naturalnya.     

Satu adegan dalam video “Orangutan Bukan Mainan” yang dirilis Centre for Orangutan Protection (COP) memperlihatkan bagaimana seekor orangutan ditempa jadi artis. Ia diberi buah, yang membuatnya mendekat ke jeruji. Lantas untuk menekan memorinya agar melakukan suatu atraksi kedua tangannya ditarik paksa tiga laki-laki hingga tubuhnya lekat ke besi kerangkeng. Ketiganya memukuli, menendangi tangannya sekeras-kerasnya. Lambat-laun wajah supelnya pudar dan meringis kesakitan. Ketiga laki-laki itu tak berhenti menghajarnya.

COP melakukan riset mendalam dan memantau kondisi orangutan di berbagai kebun binatang. Hasilnya, secara umum tidak dalam keadaan baik, dan menderita. “Kejahatan kita adalah membayar sejumlah uang kepada kebun binatang untuk terus melakukan kekejaman,” tegas Daniek Hendarto, representatif COP dalam siaran persnya 30 Juni 2011. “Perubahan hanya akan terjadi bila semua pihak, termasuk sekolah dan orangtua, tidak lagi mengorganisir kunjungan ke kebun binatang. Masih banyak cara yang lebih baik untuk mendidik siswa agar mencintai satwa liar dan alam. Misalnya berkemah atau kunjungan ke alam bebas untuk mengamati satwa liar langsung di habitatnya.”

Reportase : Aditya Herlambang & Ichsan R. Anggoro   

Senin, 23 April 2012

MACACA DAN KITA


Minggu pagi itu sebagaimana biasanya hari libur pasar terasa lebih padat. Anak-anak terlihat di berbagai sudut. Sebagian ditemani ayahnya, sebagian lainnya bersama teman-temannya.

Sekelompok anak yang berkumpul di satu titik menarik perhatian. Rupanya bocah-bocah itu mengerumuni tiga ekor kera yang sama bocahnya. Ketiganya tidak ditempatkan di dalam kandang, tapi di atasnya, dengan tali rafia dililitkan di masing-masing perut. Anak-anak senang bukan main karena bisa menyentuh dan berbagi kacang.

“Kalau di kebun binatang interaksi sama hewannya malah tidak bisa,” ujar Nursamsyiah, warga Bantul yang menyertai putrinya. “Ini sekalian melatih dia biar tidak takut hewan.” Sang Putri yang cantik baru enam tahun, ia tidak kunjung beranjak dari kera-kera teman barunya, melupakan rencananya membeli ikan.  
 
Beberapa pengunjung pasar menghentikan langkah untuk memotret ketiga kera bocah yang tingginya tak lebih dari tigapuluh centi itu. Termasuk seorang turis, wanita muda berambut pirang bergaun hitam panjang hingga tungkai. Ia menolak diwawancara.

Dari jarak dekat tampak jelas warna keemasan di tubuh mereka adalah rekayasa. Lengan dan paha mereka kelabu. Bulu di atas kepala diwarnai lebih terang, kemudian ditegakkan sedemikian rupa menyerupai tampilan kaum mohawk.  

Saat para tamu satu demi satu berlalu dan keadaan sekitar berangsur senyap, ketiga kera tiba-tiba saling mendekap erat. Kali ini tidak seekor pun merespon sekeliling dengan lugas. Kamera Ichsan Anggoro terarah ke mereka dari jarak terjaga, dalam bingkai statis, selama empatpuluh detik; dan selama itu sungguh terasakan kecemasan dan ketakutan yang tak terperi sekaligus rasa sayang di antara mereka  … – serta kemanusiaan kita yang tumpul.  


Reportase : Aditya Herlambang   Foto : Ichsan R. Anggoro

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON


Salah satu konsekuensi membiarkan tanaman dan tetumbuhkan melanjutkan hidupnya di area rumah adalah munculnya kehidupan-kehidupan lain di sekitarnya. Sejak pandan diberikan wilayah lebih luas karena banyak tetangga membutuhkannya, bambu air menempati petak kosong di sisi pintu ruang tamu, bibit-bibit jambu disemai dan cemara didirikan kembali di samping rumah, maka mulailah kerap terlihat bekicot, capung, dan katak seibujari. Tempo hari saat matahari masih ranum tiba-tiba seekor kadal berjemur tanpa sungkan tak jauh dari batang cemara. Dia sama sekali tak memperlihatkan gerak-gerik panik. Justru saya yang memintanya cepat pulang karena biasanya anjing-anjing saya akan mengajak bermain tanpa menyadari cengkeraman dan gigi mereka kelewat tajam untuk si teman baru. Tapi karena tidak tega memutus kesenangan si kadal maka diambil jalan tengah: pintu menuju halaman samping ditutup sementara.

Yang paling mendebarkan adalah pertemuan dengan seekor ular yang menyusup sampai depan kamar mandi. Karena malam itu lampu-lampu sudah dimatikan wujudnya hampir terlihat menyerupai sisa tali rafia yang tergeletak di lantai. Tersadar itu bukan benda mati karena dia sendiri yang melayangkan pesan dengan mendongakkan kepala meskipun kami masih berjarak dua meteran. Warnanya gelap, panjangnya sekitar duapuluh senti, lebar tubuhnya tak lebih dari garis lingkar pinsil. Terus terang saya agak panik karena pengetahuan menghadapi ular sama usangnya dengan pelajaran bahasa morse kala berkostum coklat-coklat dengan merah-putih menggantung di leher.

Di dekat tempat saya berdiri ada sebilah bambu panjang tapi rasanya rikuh mendekatinya dengan itu. Mungkin karena tidak mudeng cara mencapai deal saya malah lebih sibuk menegok hasil pertandingan Manchester United ketimbang ribut-ribut menyuruhnya pergi. Setelah dipastikan Liverpool yang menang baru dicek lagi. Ular itu sudah tidak ada. Semua lampu dinyalakan, setiap celah dan kolong ditelusur, jemuran disibakkan, sepatu-sepatu diangkat, saluran-saluran air disenteri, dia benar-benar tidak tampak lagi. Saat akan ditinggal nonton bola dia memang sudah bergerak menuju celah pintu yang terhubung ke dunia luar, jaraknya tinggal tiga meteran, jadi saya anggap saja ular itu sudah tidak bertamu.

Mereka agaknya seperti kita juga, kadang tak sanggup menahan keingintahuan dan terus mencari kemapanan. Tapi begitu tahu wilayah interior ternyata tidak menyenangkan si ular buru-buru kembali ke daerah asal. Pengalaman ini mengingatkan adegan miris di dalam kotak kaca di kompleks reptil satu kebun binatang. Kotak itu dirancang sebagai rumah sederhana yang menyenangkan untuk sekeluarga kadal bertubuh kebiruan. Tata ruangnya sedap dipandang para tamu dan pastinya perabot serta segala hal di dalam sana sudah disesuaikan dengan kebutuhan penghuninya. Tapi salah satu di antara mereka tak lelah-lelahnya menggeliatkan tubuh di ujung ruang untuk kemudian menabrakkan moncongnya ke kaca.

Gerakan menggeliat itu tampaknya upaya untuk mengumpulkan kekuatan penuh sebagaimana kita menarik lengan ke belakang sebelum meninju. Dia tidak happy di rumah yang serba berkecukupan itu. Anggota keluarga yang lain mungkin lebih sumeleh karena diam di tempat. Tapi bisa juga satu demi satu akan bergantian mencoba memecah kaca begitu kita beranjak .. Who knows?          

Analoginya barangkali bisa disentuh-sentuhkan dengan tulisan Bre Redana “The Good Old Time” di Kompas (Minggu 29 Januari 2012, halaman 23). “Sekarang, meski Starbucks dan sejumlah kafe mencoba menghadirkan suasana ruang tamu dan ruang keluarga di tempat usahanya, tak mungkin mereka bisa menyamai suasana ruang keluarga yang sesungguhnya,” tulisnya. Bre menegaskannya sebagai ruang artifisial. Syukurlah saya tidak jadi menggunakan bambu untuk menakut-nakuti si ular, karena dia sendiri tidak betah kok.  Dia lebih memilih pulang sesumpek apapun rumahnya, yang penting merdeka.

Seorang teman mengatakan kadal-kadal biru itu mewakili fauna yang habitat aslinya telah ludes dilumat jaman. Jadi kebun binatang menjadi alternatif paling bijak untuk menampung sehingga mereka bisa melanjutkan kehidupan. Wartawan Alan Weisman di bukunya The World Without Us menyinggung pergerakan satwa-satwa untuk menyesuaikan diri saat jumlah manusia bertambah pesat, bahkan di Afrika zebra, wildebeest, dan burung unta membentuk aliansi, persekutuan, dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing untuk bersama-sama mempertahankan kemerdekaan dari jangkauan manusia. Jadi, saat kita sudah begitu sibuk menjejalkan pandangan terkait mereka yang rasanya paling relevan dan absolut, mahluk-mahluk di luar kita malah tidak pernah mandeg, tidak gampang menyerah, lebih siap mengembangkan diri.    

Adam Herdanto

THE CORE OF A MAN'S SPIRIT



The very basic core of a man’s living spirit is his passion for adventure. The joy of life comes from our encounters with new experiences, and hence there is no greater joy than to have an endlessly changing horizon, for each day to have a new and different sun.

Chris McCandless (1968 – 1992) 

LUTUNG BUDENG : THE LONE RANGER


Lutung budeng (Trachypithecus auratus) menurut referensi hidup berkelompok. Endemik Indonesia ini di tengah keluarganya saling bekerja sama, saling membantu mengasuh anak-anaknya, saling membutuhkan satu sama lain. Tapi pertengahan tahun 2010 di tepian hutan Gunung Merapi fotografer Orca Kosmas Mahendra mengabadikan seekor lutung mengikuti sekelompok kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Di manakah keluarganya sendiri?

Meski populasinya merosot tajam dan terancam punah semoga ia bukan lutung terakhir di Merapi. Sebab macaca yang berada di sekitarnya sering dituding sebagai hama dan tidak terlindung undang-undang. Di salah satu situs resminya pemerintah menyebut macaca “masih melimpah dan di beberapa tempat menjadi hama tanaman pangan yang ditanam di tepi hutan .. Sifatnya sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru/lingkungan manusia.”

Artinya jika dianggap merusak tanaman pangan di tepi hutan mereka boleh dibunuh, meskipun dulunya – dan semestinya – merekalah yang memiliki hutan. Macaca yang “beruntung” ditangkap, dijual, dan dipaksa beradaptasi dengan lingkungan manusia, terutama untuk membantu mencari nafkah dengan berperan sebagai Sarimin sepanjang sisa hidupnya. Tapi di pasar satwa pedagang mengakui ada orang yang mencarinya untuk obat alternatif. 

Tepian hutan yang lekat dengan sentra wisata dan pemukiman juga mendorong koloni macaca mendekati kerumunan manusia jika persediaan pangan di dalam hutan menipis. Jika si lutung bergantung pada mereka, ancaman terjerat jebakan menjadi amat lebar.

Setelah erupsi Merapi menjelang akhir 2010 nasibnya belum jelas. 

ANAK SEMESTA


Documentary, 2009, 19 min.

Seorang wanita karier resah tiap masa liburan tiba. Ia tidak ingin anaknya tersekap di rumah tapi ia sendiri tidak mungkin selalu menemani. Suatu hari diajaknya putrinya yang siswi kelas satu SD bermobil ke pinggiran kota, melintasi sawah-sawah dan bertemu petani-petani muda yang membawa mereka ke sungai, ladang, peternakan sapi dan pengolahan sampah. Di sanalah tersimpan pengalaman baru dan  petualangan yang jauh lebih menggairahkan ketimbang televisi.   

*) Dokumenter ini ditayangkan TV Channel Kemanusiaan (Satelit Palapa D, frekuensi 3972 mhz)

FLY AWAY HOME


A family of orphaned geese who lost their way. A 14 year old kid who will lead them home. To achieve the incredible, you have to attempt the impossible.

Fly Away Home dibuka dengan manis. Amy duduk di sisi ibunya yang mengendarai mobil, suasananya hangat dan dekat, dilatari theme song  yang apik. Tapi tak sampai lagu rampung keadaan berubah drastis: sebuah truk tiba-tiba muncul frontal dari arah berlawanan. Itulah kebersamaan terakhir mereka, dan babak awal Amy bersama Thomas sang ayah yang sudah memisahkan diri. Amy harus meninggalkan Selandia Baru tempatnya selama ini tinggal dan hijrah ke Kanada.

Dari adegan-adegan awal terbaca perbedaan di antara kedua orangtuanya. Si ibu mapan, bermobil, terbiasa bicara di handphone. Ayahnya menetap di antara lekuk-lekuk perbukitan, punya kulkas bikinan sendiri berwujud meja, tapi bisa terangkat secara mekanis dan saat itulah ruang di bawahnya yang berfungsi sebagai refrigerator bergerak naik, memperlihatkan susunan rak yang melingkari poros. Baru bangun tidur saja Amy sudah dikagetkan ulah Thomas yang berusaha terbang dengan glider ciptaannya. Di ruang kerjanya Thomas juga menyimpan karyanya yang lain: naga besar berbahan logam.   

Kehilangan orang yang paling dikasihi, disusul perubahan-perubahan besar yang tak pernah dipersiapkan sebelumnya, akan terasa begitu sulit bagi bocah 13 tahun. Naturalnya Amy mulai membutuhkan ruang privat, mulai senang bersolek dengan aneka busana, tapi rasa malu membuatnya menangis meraung-raung. Pada ayahnya dan Susan, pacar si ayah, ia selalu sinis.

Sikap soliter Amy menuntunnya ke aktivitas yang amat personal. Di satu hari yang murung dilihatnya buldozer pengembang properti yang dibenci ayahnya memapras lahan di tubuh bukit. Angsa-angsa (Canada geese) yang tinggal di sana ketakutan dan dengan sendirinya terusir. Di celah pohon yang roboh Amy menemukan beberapa butir telur angsa yang terpaksa ditinggalkan induknya. Telur-telur ini kemudian menjadi bagian dari kesendirian Amy sekaligus pintu masuk ke rangkaian petualangan yang menggemparkan.  

Thomas tidak menyukai kebiasaan gusur-gusur lahan hijau demi kompleks bangunan namun tidak serta-merta tergerak memikirkan suaka bagi satwa-satwa yang jadi korban. Sebab ia sudah begitu sibuk menyempurnakan temuan-temuannya. Justru anakan-anakan angsa yang netes di laci itu yang kemudian mengeratkan hubungannya dengan putrinya, dan mendorong Thomas lebih sering meninggalkan gudang kerjanya yang bernaga itu.  

Adegan bayi-bayi angsa “lahir” direkam sutradara Carroll Ballard dengan telaten, dengan hati: kerendahan hati terhadap keagungan Pencipta. Ballard adalah sineas terhormat karena tidak pernah memikirkan trend, ketrampilannya khas Hollywood tapi dimanfaatkannya untuk membekaskan karakter pada tiap anak dan orang dewasa yang menyaksikan filmnya. Karya-karya Ballard sedikit tapi seluruhnya – seperti disebut kritikus Roger Ebert – merupakan “visionary films about man and nature”.

Dalam Black Stallion (1979) diletakkannya hati pada seekor kuda dan dengan Never Cry Wolf (1983) Ballard berdiri di kubu srigala-srigala yang terancam pembasmian sistemik. Sebagaimana Never Cry Wolf yang berdasar otobiografi konservasionis Farley Mowat, Ballard membuat Fly Away Home dari pengalaman William Lishman memandu migrasi angsa dengan pesawat ultralight.

Hadirnya angsa-angsa kecil itu ke bumi tanpa didampingi ibunya menandai “kelahiran kembali” Thomas dan Amy. Dan inilah petualangan besar itu: Amy dan ayahnya harus mengajari terbang dan nantinya membimbing mereka melakukan migrasi. Dari Ontario, Kanada, ke North Carolina, AS! Sebab anak-anak angsa itu sudah terpisah dari komunitasnya dan tak tahu caranya migrasi untuk menyelamatkan diri dari sekapan musim dingin. 
 
Mengenai proses terbang jauh bersama-sama itu tidak ada gunanya ditulis di sini karena tidak akan sanggup menandingi tantangan dan kegairahan yang ditampilkan filmnya. Namun di sela-selanya ada beberapa hal yang interesan untuk direnungkan. Misal soal aparat. Ada aparat yang begitu setia pada textbook  sampai hendak memotong urat sayap seekor anak angsa di hadapan Amy yang jelas-jelas amat menyayangi angsa-angsanya. Orang ini saking loyalnya malah jadi obsesif.

Tapi wajah teduh justru tampil di Niagara Air Force Base. Tentara-tentara dalam barisan melepas rombongan Amy dengan penghormatan resmi. Presenter berita tv menyampaikan substansinya, “Commanding General Olin Hatfield says he never seen such an inspirational sight.”   

Kapital selalu berusaha memanjakan kita tapi tidak akan berpartisipasi untuk turut menanggung akibatnya. Tapi teknologi, seni, serta hobi seperti dimiliki Thomas dan staf negara yang jernih dan ngemong sebagaimana Jenderal Hatfield bisa menjadi pegangan untuk selalu berpulang ke kesejatian dan keseimbangan.

“I wish she was here now,” Amy terkenang ibunya menjelang akhir perjalanan.

“She is,” bisik ayahnya. “She’s right next to you. She’s in the geese.”     

Adam Herdanto

TAMAN KULINER


Taman Nasional basisnya adalah protected area. Dengan sendirinya sejak ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada tahun 2004 wilayah Gunung Merbabu tidak bisa lagi dikuras sesuka hati. Flora-fauna di dalamnya jadi lebih terlindung, lebih lestari. Tata-tertib untuk melangkah ke sana pun jadi lebih tertib dan eksak, penuh larangan yang dinaungi undang-undang dan konsensi taman nasional sejagad. Misal jelas-jelas tak boleh berburu, menangkap, melukai, dan memiliki satwa dalam keadaan hidup maupun mati. Mencongkel akar tumbuhan saja terlarang.

Sahnya Merbabu sebagai taman nasional memungkinkannya mempertahankan diri sebagai “heritage”. Foto di samping ini misalnya, diambil fotografer Belanda sekitar tahun 1907-1920, saat Merbabu masih jadi sarang harimau, tapi banyak orang Belanda gemar mendakinya, sampai mendirikan gubuk di sekitar puncak agar tak harus buru-buru turun. Di Kopeng, lereng Merbabu, mereka punya villa megah. Keberadaan porter yang mengiringi pendakian kiranya bukan soal manja tapi lebih karena medan yang (masih) lebat dan berat.

Tapi kini di kaki Merbabu ada warung makan spesialis hidangan satwa liar. Terpampang spanduk berlogo salah satu stasiun televisi swasta nasional. Warung ini begitu terbuka dan percaya diri karena kerap diliput televisi yang berlomba-lomba memamerkan program jalan-jalan dan makan-makan. Bahan bakunya tentu saja dari tubuh Merbabu. Pengelolanya punya sel khusus beratap jeruji besi untuk menyekap binatang-binatang tangkapan agar tetap fresh sebelum dirica. Saat ditengok terlihat beberapa landak menyudut ketakutan. Beberapa di antara mereka sudah dalam keadaan berdarah dan kesakitan, terluka saat dijerat di hutan.     

Landak, biawak, blacan, sampai kijang masuk ke dalam daftar menu mereka. Juga anjing kampung. Bisa rica, bisa sate, harganya kisaran limabelas-duapuluhribu per porsi. Pelanggannya datang dari mana-mana, utamanya orang-orang kota yang terprovokasi kuliner unik, sensasional, dan berkhasiat. Saat satwa-satwa itu kelak benar-benar habis orang-orang itu mungkin tak berguna lagi sebab di dalam raganya tidak terkandung lagi khasiat yang selama ini diandalkannya.

Reportase dan foto : Swasti Ayu

Jumat, 20 April 2012

BERKAT HUTAN

Aku tinggal di dusun Mbraman. Dusunku dekat dengan hutan, makanya dusunku sejuk dan indah. Setiap hari Minggu aku dan ibu mencari kayu di hutan. Ibu membawa kayu untuk dijual, dan uangnya buat biaya sekolahku. Dan aku membawa kayu  untuk dibakar dan buat menanak nasi dan air untuk mandi.

Selain membawa kayu aku membawa rumput untuk makan sapi-sapiku. Dan kalau tidak diajak ibu, aku dan teman-teman naik ke gunung sendiri. Aku dan teman-teman membawa nasi untuk dimakan saat istirahat.

Hutanku juga dibutuhkan sehari-hari untuk warga, makanya dusunku tidak mengeluarkan uang banyak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berkat hutan dusunku tidak mengeluarkan uang banyak. Warga dusunku walaupun mencari kayu di hutan, tetapi mereka tetap menjaga dan menanam hutan kembali.

Dan aku mempunyai peliharaan yang paling kusukai, yaitu anjing. Aku memang senang dengan anjingku karena dia lucu. Anjingku setiap ibu ke sawah ikut, anjingku juga selalu ikut ke hutan.

Antonius Farmai U., 11 tahun, Dusun Braman, 2011

Foto : Kosmas Mahendra

PERGI KE HUTAN


Aku anak Merapi. Aku senang sekali tinggal di dekat Merapi karena banyak pepohonan dan udara segar. Pada hari Minggu aku sering ikut ayahku ke hutan. Di hutan banyak kayu yang tersebar karena hujan abu. Tetapi ayahku juga mengambil kayu itu untuk dibakar, untuk memasak.

Di hutan aku sering menanam pohon yang kecil-kecil. Pada saat itu aku membantu ayah untuk mencari kayu bakar tetapi di jalan aku keberatan, dan aku kurangi kayu itu. Di jalan aku melewati Sungai Lamat. Jalannya susah sekali. Untung aku bisa melewati. Aku dan ayahku istirahat sebentar.

Sesudah istirahat aku berjalan pulang. Saat sampai di Dusun Gemer aku berhenti di sawah, memetik sayur jipang. Sesudah selesai aku pulang. Sampai di rumah aku makan. Sesudah makan aku disuruh mencuci piring.

Itulah ceritaku!

Iswanti, 11 tahun, Dusun Batur Duwur, 2011

Foto : Ichsan R. Anggoro

Kamis, 19 April 2012

MERTI DESA



"Mbok, aku baru ngerti, ritual yang kamu lakukan dulu, seperti sedekah bumi, bersih desa, merti dusun, itu sebuah cara engkau menjaga ekosistem dan keseimbangan sosial .. Setiap merti dusun atau sedekah bumi pasti ada makanan dan buah-buahan yang kamu taruh di halaman atau di sawah ..

Makanan di sawah disantap hewan, di halaman dimakan orang miskin, bahkan orang gila .. Sekarang desaku tak ada itu ..

Kulihat pengemis kelaparan dan orang gila, juga hewan marah ..."

Slamet Gundono

TEMAN SEJATI


Merapi merupakan gunung teraktif di dunia. Bagi diriku engkaulah teman sejatiku meskipun engkau pernah membawakan bencana sehingga kami harus mengungsi.

Tetapi bencana itu juga membawakan berkat bagi kami. Misalnya batu-batu yang turun dari kawahmu bisa dijual untuk kebutuhan hidup kami. Selain itu kami juga mendapat bantuan dari orang-orang yang sayang terhadap kami.

Engkaulah tempat sumber mata air bagi kita. Engkau mengairkannya lewat sungai-sungai dan kami juga harus menjagamu, misalnya dengan menjaga hutan-hutan yang ada di sekitar dusun kami.

Tetapi mengapa ada orang yang ingin merusakmu. Misalnya menebangi pohon yang ada di hutan hanya untuk kepentingan sendiri. Padahal dusun kami sangat membutuhkan pepohonan itu dan tanaman-tanaman lain.

Apa mungkin ya engkau membawakan bencana karena engkau marah karena kami merusak sekitarmu? Tapi maafkanlah kami. Kami berjanji akan selalu menjagamu, kami menyesal telah melakukan semua itu …

Christina Ika, 11 tahun, Dusun Ngadong, 2011

Foto : Andri Febri Prasetyo

KELAS CAPUNG

“Tidak ada mahluk yang diciptakan untuk dekorasi ..”

Seorang guru yang jarang mandi membawa murid-muridnya yang bersih dan wangi ke mata air Wendit yang dulu disucikan Suku Tengger dan habitat kera ekor panjang. Koloni primata itu tinggal kenangan tapi panorama orang mandi belum jadi album masa lalu. Masing-masing murid membawa kamera, tapi tidak demi mengabadikan para putri berbasuh, tidak untuk potret-potretan di waterpark. Mereka ke sana demi capung.

Karena ternyata capung itu indah, tak kalah seksi dari kupu-kupu (dan warga yang mandi), maka indah jugalah foto-foto yang mereka hasilkan. Tapi jika berpuas hati dengan keindahan visual dan merasa cukup merayakannya di jejaring sosial, tak ada gunanya guru itu jarang mandi. Buat apa lekat dengan lumpur, akar kangkung dan kubangan pestisida jika tidak benar-benar berselam di dalamnya? Maka kemudian menjadi tak bedalah aroma murid dengan gurunya ...

Anak-anak SMA dari satu sekolahan di Jalan Dempo di kota Malang itu lantas mewujudkan diri menjadi Indonesia Dragonfly Society (IDS). Nama yang gagah, dan syukurlah diikuti perbuatan dan aktivitas yang gagah pula (berhubungan urusannya adalah capung, bukan elang atau macan, dengan sendirinya mereka jauh dari gagah-gagahan).

Langkah dan tingkah-polah mereka patut diikuti pertama-tama bukan karena sudah dibahas KOMPAS dan diundang Konsulat Amerika Serikat, melainkan karena sanggup membuka kebuntuan kaum remaja yang rasanya kini begitu seragam minat dan pola hidupnya. Bahwa para remaja, siswa-siswa sekolah menengah, bisa melakukan kegiatan extraordinary untuk sesama.  Sebab jika Anda tak pernah lagi menemukan capung di lingkungan Anda, hati-hati, mungkin air di sana sudah tidak mutu. Tidak ada mahluk yang diciptakan untuk dekorasi, dan capung adalah indikator kualitas air di sekitar kita, penanda lingkungan yang (masih) cukup sehat.

Di usia belia remaja-remaja itu sudah terbiasa melakukan riset, observasi di lapangan, mempelajari setumpuk referensi berbahasa Inggris (karena yang Indonesia sama jarangnya dengan buku Max Havelaar), berkorespondensi dengan perkumpulan peneliti capung sejagad, dan menerbitkan buku. Mereka berani berdiri paling depan mengupayakan perbaikan habitat capung agar manfaatnya bagi kita tidak lenyap digerus swalayan.

Meski sudah berkotor-kotor dan mengalokasikan uang sendiri untuk merealisasikan program-programnya, apa yang mereka lakukan tidak akan ada pengaruhnya pada nilai di sekolah dan kesuksesan kelak. Tapi tidak ada yang lebih berharga timbang bobot seseorang sebagai manusia dan mereka menempanya dari hal kecil, dari tempat berlumpur.


Teks : Adam Herdanto         Foto : Ichsan R. Anggoro

PRESENTER DAN KAMPUNG MONYET

Seorang presenter laki-laki yang terlihat selalu berusaha tampil tampan dan karib cengar-cengir mengawal berita tentang monyet sewaan di “kampung monyet”. Teman wanita di sampingnya serupa nadanya, demikian pula reporter di lapangan yang berdiri di dekat juragan dan para dalang topeng monyet.

Mungkin karena cuma soal binatang dan atraksi monyet maka bahan itu dikategorikan hiburan, karenanya sah saja disenyam-senyumi. Tapi masalahnya di layar yang sama pernah dideskripsikan bagaimana monyet diperlakukan dengan begitu keras dan keji agar terlatih mengikuti instruksi. Tayangan itu begitu mengusik hati, bahwa di balik sukacita anak-anak menyaksikan topeng monyet terpendam derita dan luka si penghibur. Apakah Mas Presenter tidak sempat menyaksikannya? Atau, apapun terkait monyet selalu digolongkan hiburan, jadi penjabaran kekejaman itu pun sejatinya tak lebih dari entertainment?

Senyuman itu betul-betul tak enak disimak, betapapun misalnya si presenter ngaku smiley face, sebab tidak hanya monyet yang ada di dalam materinya. Tapi juga sekelompok orang yang berjuang dengan keras meraih rejeki di tengah sumpeknya Jakarta. Menjamurnya atraksi monyet disertai rentalnya adalah bagian dari “kreativitas” untuk bertahan, untuk tidak patah asa di tengah jalan cadas. Banyak satwa dijadikan pengepul dapur, banyak pula yang diperlakukan tak ubahnya keranjang sampah setumpuk rasa frustrasi dan keputusasaan. Keranjang sampah  yang merah warnanya dan anyir. 

Keadaan negeri yang masih saja labil membutuhkan pekerja media yang kritis dan bening. Bening pikiran dan hatinya, bukan kulitnya. Topeng monyet seyogyanya tidak dilihat sesederhana hal unik yang ada di sekitar kita; sama halnya dengan isu penyiksaan sapi dan berita penganiayaan puluhan orangutan yang dituding sebagai hama, jika kekerasan sudah begitu merata agaknya selama ini kita terlanjur memendam persoalan yang lebih mendasar. Semoga para pekerja media tidak lelah menggalinya. 

“I believe that good journalism, good television, can make our world a better place.” – Christiane Amanpour.


(rah, 2011)