A family of orphaned geese who lost their way. A 14 year
old kid who will lead them home. To achieve the incredible, you have to attempt
the impossible.
Fly Away Home dibuka
dengan manis. Amy duduk di sisi ibunya yang mengendarai mobil, suasananya
hangat dan dekat, dilatari theme song yang apik. Tapi tak sampai lagu rampung
keadaan berubah drastis: sebuah truk tiba-tiba muncul frontal dari arah
berlawanan. Itulah kebersamaan terakhir mereka, dan babak awal Amy bersama
Thomas sang ayah yang sudah memisahkan diri. Amy harus meninggalkan Selandia
Baru tempatnya selama ini tinggal dan hijrah ke Kanada.
Dari
adegan-adegan awal terbaca perbedaan di antara kedua orangtuanya. Si ibu mapan,
bermobil, terbiasa bicara di handphone.
Ayahnya menetap di antara lekuk-lekuk perbukitan, punya kulkas bikinan sendiri
berwujud meja, tapi bisa terangkat secara mekanis dan saat itulah ruang di
bawahnya yang berfungsi sebagai refrigerator bergerak naik, memperlihatkan
susunan rak yang melingkari poros. Baru bangun tidur saja Amy sudah dikagetkan
ulah Thomas yang berusaha terbang dengan glider ciptaannya. Di ruang kerjanya
Thomas juga menyimpan karyanya yang lain: naga besar berbahan logam.
Kehilangan
orang yang paling dikasihi, disusul perubahan-perubahan besar yang tak pernah
dipersiapkan sebelumnya, akan terasa begitu sulit bagi bocah 13 tahun. Naturalnya
Amy mulai membutuhkan ruang privat, mulai senang bersolek dengan aneka busana,
tapi rasa malu membuatnya menangis meraung-raung. Pada ayahnya dan Susan, pacar
si ayah, ia selalu sinis.
Sikap
soliter Amy menuntunnya ke aktivitas yang amat personal. Di satu hari yang
murung dilihatnya buldozer pengembang properti yang dibenci ayahnya memapras
lahan di tubuh bukit. Angsa-angsa (Canada
geese) yang tinggal di sana ketakutan dan dengan sendirinya terusir. Di
celah pohon yang roboh Amy menemukan beberapa butir telur angsa yang terpaksa
ditinggalkan induknya. Telur-telur ini kemudian menjadi bagian dari kesendirian
Amy sekaligus pintu masuk ke rangkaian petualangan yang menggemparkan.
Thomas tidak
menyukai kebiasaan gusur-gusur lahan hijau demi kompleks bangunan namun tidak
serta-merta tergerak memikirkan suaka bagi satwa-satwa yang jadi korban. Sebab
ia sudah begitu sibuk menyempurnakan temuan-temuannya. Justru anakan-anakan
angsa yang netes di laci itu yang kemudian
mengeratkan hubungannya dengan putrinya, dan mendorong Thomas lebih sering
meninggalkan gudang kerjanya yang bernaga itu.
Adegan bayi-bayi
angsa “lahir” direkam sutradara Carroll Ballard dengan telaten, dengan hati: kerendahan
hati terhadap keagungan Pencipta. Ballard adalah sineas terhormat karena tidak
pernah memikirkan trend, ketrampilannya khas Hollywood tapi dimanfaatkannya
untuk membekaskan karakter pada tiap anak dan orang dewasa yang menyaksikan
filmnya. Karya-karya Ballard sedikit tapi seluruhnya – seperti disebut kritikus
Roger Ebert – merupakan “visionary films about man and nature”.
Dalam Black Stallion (1979) diletakkannya hati
pada seekor kuda dan dengan Never Cry
Wolf (1983) Ballard berdiri di kubu srigala-srigala yang terancam
pembasmian sistemik. Sebagaimana Never
Cry Wolf yang berdasar otobiografi konservasionis Farley Mowat, Ballard
membuat Fly Away Home dari pengalaman
William Lishman memandu migrasi angsa dengan pesawat ultralight.
Hadirnya
angsa-angsa kecil itu ke bumi tanpa didampingi ibunya menandai “kelahiran
kembali” Thomas dan Amy. Dan inilah petualangan besar itu: Amy dan ayahnya
harus mengajari terbang dan nantinya membimbing mereka melakukan migrasi. Dari
Ontario, Kanada, ke North Carolina, AS! Sebab anak-anak angsa itu sudah
terpisah dari komunitasnya dan tak tahu caranya migrasi untuk menyelamatkan
diri dari sekapan musim dingin.
Mengenai
proses terbang jauh bersama-sama itu tidak ada gunanya ditulis di sini karena
tidak akan sanggup menandingi tantangan dan kegairahan yang ditampilkan
filmnya. Namun di sela-selanya ada beberapa hal yang interesan untuk
direnungkan. Misal soal aparat. Ada aparat yang begitu setia pada textbook sampai hendak memotong urat sayap seekor anak
angsa di hadapan Amy yang jelas-jelas amat menyayangi angsa-angsanya. Orang ini
saking loyalnya malah jadi obsesif.
Tapi wajah
teduh justru tampil di Niagara Air Force Base. Tentara-tentara dalam barisan
melepas rombongan Amy dengan penghormatan resmi. Presenter berita tv
menyampaikan substansinya, “Commanding General Olin Hatfield says he never seen
such an inspirational sight.”
Kapital selalu
berusaha memanjakan kita tapi tidak akan berpartisipasi untuk turut menanggung
akibatnya. Tapi teknologi, seni, serta hobi seperti dimiliki Thomas dan staf
negara yang jernih dan ngemong
sebagaimana Jenderal Hatfield bisa menjadi pegangan untuk selalu berpulang ke
kesejatian dan keseimbangan.
“I wish
she was here now,” Amy terkenang ibunya menjelang akhir perjalanan.
“She
is,” bisik ayahnya. “She’s right next to you. She’s in the geese.”
Adam Herdanto