Selasa, 24 April 2012

GOD'S GIFT TO MANKIND


Documentary, 2011, 24 min.

“Everyone thinks that we found this broken down horse and fixed him, but we didn’t. He fixed us, everyone of us, and I guess in a way we kinda fixed each other, too.” – Red Pollard, Seabiscuit (2003)

Nanang dulu kusir dan penjagal. Ia ditakuti kuda-kuda sakit. Jangan sampai dianggap tak bisa sembuh, karena Nanang akan membuatnya jadi bongkahan-bongkahan daging. Tapi keberadaannya di Jogja 18 Agustus 2011 sama sekali bukan demi festival kuliner atau turisme khas Jogja yang melibatkan kuda.

Saat liburan tiba Jogja memang menjadi begitu riuh. Kota terasa tak ingin rehat, dan di tengah suasana dinamis kuda menjadi rekanan yang paling repot. Andong yang ditariknya tak akan lama berdiam di jalur tunggu. Turut berpacu di jalanan utama yang kian padat, dengan beban yang lebih sarat, dan tanpa piranti teknis yang bisa mengindikasikan si kuda penat. Di Jogja andong adalah moda transportasi sehari-hari, karena tak dipensiun jaman andong larut dalam identitas budaya yang disukai turis-turis.

Kuda patut dianugerahi apresiasi dalam wujud atensi tidak hanya karena jasanya melanggengkan andong, tapi terlebih karena mereka memberikan pilihan untuk kelangsungan hidup manusia di sekitarnya di era sulit yang serba-mesin ini. Bersama tim Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Animal Friends Jogja (AFJ) Nanang mengunjungi Dusun Nglaren, Potorono, Kotagede yang secara turun-temurun dikenal sebagai sentra andong. Nanang menyempurnakan sepatu-sepatu kuda agar mereka menapak dengan nyaman dan tak harus selalu dipecuti. Sementara drh. Khalisia Wardani dan paramedis spesialis kuda dari Belanda Suzanne van der Weela memberikan medical check up intensif pada setiap kuda yang jumlahnya mencapai 30 ekor.   

Dokumenter ini menampilkan sketsa-sketsa yang menggetarkan hati. Nanang yang besar dan sangar kini mati-matian menyelamatkan kuda-kuda di hadapannya. Dan kita akan tersentuh menyaksikan kasih-sayang seekor kuda betina pada anaknya, juga sesal seorang kusir muda, “Kalau sudah tua memang dipotong, karena kita sangat butuh uangnya ..” Tapi ada juga yang membiarkannya mati secara lumrah dan dikubur layaknya teman.

“Waktu Merapi meletus kita ke sana untuk satwa yang butuh ditolong,” kisah Nanang. “Kita sendiri selamat, mungkin karena doa satwa-satwa itu ..” Matanya berkaca-kaca dan kalimatnya tak pernah selesai.   

*) Dokumenter ini ditayangkan TV Channel Kemanusiaan (Satelit Palapa D, frekuensi 3972 mhz)

1 komentar: