Documentary,
2011, 24 min.
“Everyone thinks that we found this broken down horse and
fixed him, but we didn’t. He fixed us, everyone of us, and I guess in a way we
kinda fixed each other, too.” – Red
Pollard, Seabiscuit (2003)
Nanang dulu
kusir dan penjagal. Ia ditakuti kuda-kuda sakit. Jangan sampai dianggap tak
bisa sembuh, karena Nanang akan membuatnya jadi bongkahan-bongkahan daging. Tapi
keberadaannya di Jogja 18 Agustus 2011 sama sekali bukan demi festival kuliner
atau turisme khas Jogja yang melibatkan kuda.
Saat
liburan tiba Jogja memang menjadi begitu riuh. Kota terasa tak ingin rehat, dan
di tengah suasana dinamis kuda menjadi rekanan yang paling repot. Andong yang
ditariknya tak akan lama berdiam di jalur tunggu. Turut berpacu di jalanan
utama yang kian padat, dengan beban yang lebih sarat, dan tanpa piranti teknis
yang bisa mengindikasikan si kuda penat. Di Jogja andong adalah moda transportasi
sehari-hari, karena tak dipensiun jaman andong larut dalam identitas budaya
yang disukai turis-turis.
Kuda
patut dianugerahi apresiasi dalam wujud atensi tidak hanya karena jasanya
melanggengkan andong, tapi terlebih karena mereka memberikan pilihan untuk
kelangsungan hidup manusia di sekitarnya di era sulit yang serba-mesin ini. Bersama
tim Jakarta Animal Aid Network (JAAN)
dan Animal Friends Jogja (AFJ)
Nanang mengunjungi Dusun Nglaren, Potorono, Kotagede yang secara turun-temurun dikenal
sebagai sentra andong. Nanang menyempurnakan sepatu-sepatu kuda agar mereka
menapak dengan nyaman dan tak harus selalu dipecuti. Sementara drh. Khalisia
Wardani dan paramedis spesialis kuda dari Belanda Suzanne van der Weela
memberikan medical check up intensif
pada setiap kuda yang jumlahnya mencapai 30 ekor.
Dokumenter
ini menampilkan sketsa-sketsa yang menggetarkan hati. Nanang yang besar dan
sangar kini mati-matian menyelamatkan kuda-kuda di hadapannya. Dan kita akan
tersentuh menyaksikan kasih-sayang seekor kuda betina pada anaknya, juga sesal
seorang kusir muda, “Kalau sudah tua memang dipotong, karena kita sangat butuh
uangnya ..” Tapi ada juga yang membiarkannya mati secara lumrah dan dikubur
layaknya teman.
“Waktu
Merapi meletus kita ke sana untuk satwa yang butuh ditolong,” kisah Nanang. “Kita
sendiri selamat, mungkin karena doa satwa-satwa itu ..” Matanya berkaca-kaca
dan kalimatnya tak pernah selesai.
*)
Dokumenter ini ditayangkan TV Channel
Kemanusiaan (Satelit Palapa D, frekuensi 3972 mhz)
kisah yang sangat luar biasa :)
BalasHapus