Senin, 23 April 2012

MACACA DAN KITA


Minggu pagi itu sebagaimana biasanya hari libur pasar terasa lebih padat. Anak-anak terlihat di berbagai sudut. Sebagian ditemani ayahnya, sebagian lainnya bersama teman-temannya.

Sekelompok anak yang berkumpul di satu titik menarik perhatian. Rupanya bocah-bocah itu mengerumuni tiga ekor kera yang sama bocahnya. Ketiganya tidak ditempatkan di dalam kandang, tapi di atasnya, dengan tali rafia dililitkan di masing-masing perut. Anak-anak senang bukan main karena bisa menyentuh dan berbagi kacang.

“Kalau di kebun binatang interaksi sama hewannya malah tidak bisa,” ujar Nursamsyiah, warga Bantul yang menyertai putrinya. “Ini sekalian melatih dia biar tidak takut hewan.” Sang Putri yang cantik baru enam tahun, ia tidak kunjung beranjak dari kera-kera teman barunya, melupakan rencananya membeli ikan.  
 
Beberapa pengunjung pasar menghentikan langkah untuk memotret ketiga kera bocah yang tingginya tak lebih dari tigapuluh centi itu. Termasuk seorang turis, wanita muda berambut pirang bergaun hitam panjang hingga tungkai. Ia menolak diwawancara.

Dari jarak dekat tampak jelas warna keemasan di tubuh mereka adalah rekayasa. Lengan dan paha mereka kelabu. Bulu di atas kepala diwarnai lebih terang, kemudian ditegakkan sedemikian rupa menyerupai tampilan kaum mohawk.  

Saat para tamu satu demi satu berlalu dan keadaan sekitar berangsur senyap, ketiga kera tiba-tiba saling mendekap erat. Kali ini tidak seekor pun merespon sekeliling dengan lugas. Kamera Ichsan Anggoro terarah ke mereka dari jarak terjaga, dalam bingkai statis, selama empatpuluh detik; dan selama itu sungguh terasakan kecemasan dan ketakutan yang tak terperi sekaligus rasa sayang di antara mereka  … – serta kemanusiaan kita yang tumpul.  


Reportase : Aditya Herlambang   Foto : Ichsan R. Anggoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar