Taman Nasional
basisnya adalah protected area. Dengan
sendirinya sejak ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada tahun 2004
wilayah Gunung Merbabu tidak bisa lagi dikuras sesuka hati. Flora-fauna di
dalamnya jadi lebih terlindung, lebih lestari. Tata-tertib untuk melangkah ke
sana pun jadi lebih tertib dan eksak, penuh larangan yang dinaungi undang-undang
dan konsensi taman nasional sejagad. Misal jelas-jelas tak boleh berburu,
menangkap, melukai, dan memiliki satwa dalam keadaan hidup maupun mati.
Mencongkel akar tumbuhan saja terlarang.
Sahnya Merbabu
sebagai taman nasional memungkinkannya mempertahankan diri sebagai “heritage”. Foto
di samping ini misalnya, diambil fotografer Belanda sekitar tahun 1907-1920,
saat Merbabu masih jadi sarang harimau, tapi banyak orang Belanda gemar
mendakinya, sampai mendirikan gubuk di sekitar puncak agar tak harus buru-buru
turun. Di Kopeng, lereng Merbabu, mereka punya villa megah. Keberadaan porter
yang mengiringi pendakian kiranya bukan soal manja tapi lebih karena medan yang
(masih) lebat dan berat.
Tapi kini
di kaki Merbabu ada warung makan spesialis hidangan satwa liar. Terpampang
spanduk berlogo salah satu stasiun televisi swasta nasional. Warung ini begitu
terbuka dan percaya diri karena kerap diliput televisi yang berlomba-lomba
memamerkan program jalan-jalan dan makan-makan. Bahan bakunya tentu saja dari tubuh
Merbabu. Pengelolanya punya sel khusus beratap jeruji besi untuk menyekap
binatang-binatang tangkapan agar tetap fresh
sebelum dirica. Saat ditengok terlihat beberapa landak menyudut ketakutan. Beberapa
di antara mereka sudah dalam keadaan berdarah dan kesakitan, terluka saat
dijerat di hutan.
Landak,
biawak, blacan, sampai kijang masuk ke dalam daftar menu mereka. Juga anjing
kampung. Bisa rica, bisa sate, harganya kisaran limabelas-duapuluhribu per
porsi. Pelanggannya datang dari mana-mana, utamanya orang-orang kota yang
terprovokasi kuliner unik, sensasional, dan berkhasiat. Saat satwa-satwa itu
kelak benar-benar habis orang-orang itu mungkin tak berguna lagi sebab di dalam
raganya tidak terkandung lagi khasiat yang selama ini diandalkannya.
Reportase
dan foto : Swasti Ayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar