Senin, 23 April 2012

TAMAN KULINER


Taman Nasional basisnya adalah protected area. Dengan sendirinya sejak ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada tahun 2004 wilayah Gunung Merbabu tidak bisa lagi dikuras sesuka hati. Flora-fauna di dalamnya jadi lebih terlindung, lebih lestari. Tata-tertib untuk melangkah ke sana pun jadi lebih tertib dan eksak, penuh larangan yang dinaungi undang-undang dan konsensi taman nasional sejagad. Misal jelas-jelas tak boleh berburu, menangkap, melukai, dan memiliki satwa dalam keadaan hidup maupun mati. Mencongkel akar tumbuhan saja terlarang.

Sahnya Merbabu sebagai taman nasional memungkinkannya mempertahankan diri sebagai “heritage”. Foto di samping ini misalnya, diambil fotografer Belanda sekitar tahun 1907-1920, saat Merbabu masih jadi sarang harimau, tapi banyak orang Belanda gemar mendakinya, sampai mendirikan gubuk di sekitar puncak agar tak harus buru-buru turun. Di Kopeng, lereng Merbabu, mereka punya villa megah. Keberadaan porter yang mengiringi pendakian kiranya bukan soal manja tapi lebih karena medan yang (masih) lebat dan berat.

Tapi kini di kaki Merbabu ada warung makan spesialis hidangan satwa liar. Terpampang spanduk berlogo salah satu stasiun televisi swasta nasional. Warung ini begitu terbuka dan percaya diri karena kerap diliput televisi yang berlomba-lomba memamerkan program jalan-jalan dan makan-makan. Bahan bakunya tentu saja dari tubuh Merbabu. Pengelolanya punya sel khusus beratap jeruji besi untuk menyekap binatang-binatang tangkapan agar tetap fresh sebelum dirica. Saat ditengok terlihat beberapa landak menyudut ketakutan. Beberapa di antara mereka sudah dalam keadaan berdarah dan kesakitan, terluka saat dijerat di hutan.     

Landak, biawak, blacan, sampai kijang masuk ke dalam daftar menu mereka. Juga anjing kampung. Bisa rica, bisa sate, harganya kisaran limabelas-duapuluhribu per porsi. Pelanggannya datang dari mana-mana, utamanya orang-orang kota yang terprovokasi kuliner unik, sensasional, dan berkhasiat. Saat satwa-satwa itu kelak benar-benar habis orang-orang itu mungkin tak berguna lagi sebab di dalam raganya tidak terkandung lagi khasiat yang selama ini diandalkannya.

Reportase dan foto : Swasti Ayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar