Senin, 23 April 2012

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON


Salah satu konsekuensi membiarkan tanaman dan tetumbuhkan melanjutkan hidupnya di area rumah adalah munculnya kehidupan-kehidupan lain di sekitarnya. Sejak pandan diberikan wilayah lebih luas karena banyak tetangga membutuhkannya, bambu air menempati petak kosong di sisi pintu ruang tamu, bibit-bibit jambu disemai dan cemara didirikan kembali di samping rumah, maka mulailah kerap terlihat bekicot, capung, dan katak seibujari. Tempo hari saat matahari masih ranum tiba-tiba seekor kadal berjemur tanpa sungkan tak jauh dari batang cemara. Dia sama sekali tak memperlihatkan gerak-gerik panik. Justru saya yang memintanya cepat pulang karena biasanya anjing-anjing saya akan mengajak bermain tanpa menyadari cengkeraman dan gigi mereka kelewat tajam untuk si teman baru. Tapi karena tidak tega memutus kesenangan si kadal maka diambil jalan tengah: pintu menuju halaman samping ditutup sementara.

Yang paling mendebarkan adalah pertemuan dengan seekor ular yang menyusup sampai depan kamar mandi. Karena malam itu lampu-lampu sudah dimatikan wujudnya hampir terlihat menyerupai sisa tali rafia yang tergeletak di lantai. Tersadar itu bukan benda mati karena dia sendiri yang melayangkan pesan dengan mendongakkan kepala meskipun kami masih berjarak dua meteran. Warnanya gelap, panjangnya sekitar duapuluh senti, lebar tubuhnya tak lebih dari garis lingkar pinsil. Terus terang saya agak panik karena pengetahuan menghadapi ular sama usangnya dengan pelajaran bahasa morse kala berkostum coklat-coklat dengan merah-putih menggantung di leher.

Di dekat tempat saya berdiri ada sebilah bambu panjang tapi rasanya rikuh mendekatinya dengan itu. Mungkin karena tidak mudeng cara mencapai deal saya malah lebih sibuk menegok hasil pertandingan Manchester United ketimbang ribut-ribut menyuruhnya pergi. Setelah dipastikan Liverpool yang menang baru dicek lagi. Ular itu sudah tidak ada. Semua lampu dinyalakan, setiap celah dan kolong ditelusur, jemuran disibakkan, sepatu-sepatu diangkat, saluran-saluran air disenteri, dia benar-benar tidak tampak lagi. Saat akan ditinggal nonton bola dia memang sudah bergerak menuju celah pintu yang terhubung ke dunia luar, jaraknya tinggal tiga meteran, jadi saya anggap saja ular itu sudah tidak bertamu.

Mereka agaknya seperti kita juga, kadang tak sanggup menahan keingintahuan dan terus mencari kemapanan. Tapi begitu tahu wilayah interior ternyata tidak menyenangkan si ular buru-buru kembali ke daerah asal. Pengalaman ini mengingatkan adegan miris di dalam kotak kaca di kompleks reptil satu kebun binatang. Kotak itu dirancang sebagai rumah sederhana yang menyenangkan untuk sekeluarga kadal bertubuh kebiruan. Tata ruangnya sedap dipandang para tamu dan pastinya perabot serta segala hal di dalam sana sudah disesuaikan dengan kebutuhan penghuninya. Tapi salah satu di antara mereka tak lelah-lelahnya menggeliatkan tubuh di ujung ruang untuk kemudian menabrakkan moncongnya ke kaca.

Gerakan menggeliat itu tampaknya upaya untuk mengumpulkan kekuatan penuh sebagaimana kita menarik lengan ke belakang sebelum meninju. Dia tidak happy di rumah yang serba berkecukupan itu. Anggota keluarga yang lain mungkin lebih sumeleh karena diam di tempat. Tapi bisa juga satu demi satu akan bergantian mencoba memecah kaca begitu kita beranjak .. Who knows?          

Analoginya barangkali bisa disentuh-sentuhkan dengan tulisan Bre Redana “The Good Old Time” di Kompas (Minggu 29 Januari 2012, halaman 23). “Sekarang, meski Starbucks dan sejumlah kafe mencoba menghadirkan suasana ruang tamu dan ruang keluarga di tempat usahanya, tak mungkin mereka bisa menyamai suasana ruang keluarga yang sesungguhnya,” tulisnya. Bre menegaskannya sebagai ruang artifisial. Syukurlah saya tidak jadi menggunakan bambu untuk menakut-nakuti si ular, karena dia sendiri tidak betah kok.  Dia lebih memilih pulang sesumpek apapun rumahnya, yang penting merdeka.

Seorang teman mengatakan kadal-kadal biru itu mewakili fauna yang habitat aslinya telah ludes dilumat jaman. Jadi kebun binatang menjadi alternatif paling bijak untuk menampung sehingga mereka bisa melanjutkan kehidupan. Wartawan Alan Weisman di bukunya The World Without Us menyinggung pergerakan satwa-satwa untuk menyesuaikan diri saat jumlah manusia bertambah pesat, bahkan di Afrika zebra, wildebeest, dan burung unta membentuk aliansi, persekutuan, dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing untuk bersama-sama mempertahankan kemerdekaan dari jangkauan manusia. Jadi, saat kita sudah begitu sibuk menjejalkan pandangan terkait mereka yang rasanya paling relevan dan absolut, mahluk-mahluk di luar kita malah tidak pernah mandeg, tidak gampang menyerah, lebih siap mengembangkan diri.    

Adam Herdanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar