Senin, 23 April 2012

FLY AWAY HOME


A family of orphaned geese who lost their way. A 14 year old kid who will lead them home. To achieve the incredible, you have to attempt the impossible.

Fly Away Home dibuka dengan manis. Amy duduk di sisi ibunya yang mengendarai mobil, suasananya hangat dan dekat, dilatari theme song  yang apik. Tapi tak sampai lagu rampung keadaan berubah drastis: sebuah truk tiba-tiba muncul frontal dari arah berlawanan. Itulah kebersamaan terakhir mereka, dan babak awal Amy bersama Thomas sang ayah yang sudah memisahkan diri. Amy harus meninggalkan Selandia Baru tempatnya selama ini tinggal dan hijrah ke Kanada.

Dari adegan-adegan awal terbaca perbedaan di antara kedua orangtuanya. Si ibu mapan, bermobil, terbiasa bicara di handphone. Ayahnya menetap di antara lekuk-lekuk perbukitan, punya kulkas bikinan sendiri berwujud meja, tapi bisa terangkat secara mekanis dan saat itulah ruang di bawahnya yang berfungsi sebagai refrigerator bergerak naik, memperlihatkan susunan rak yang melingkari poros. Baru bangun tidur saja Amy sudah dikagetkan ulah Thomas yang berusaha terbang dengan glider ciptaannya. Di ruang kerjanya Thomas juga menyimpan karyanya yang lain: naga besar berbahan logam.   

Kehilangan orang yang paling dikasihi, disusul perubahan-perubahan besar yang tak pernah dipersiapkan sebelumnya, akan terasa begitu sulit bagi bocah 13 tahun. Naturalnya Amy mulai membutuhkan ruang privat, mulai senang bersolek dengan aneka busana, tapi rasa malu membuatnya menangis meraung-raung. Pada ayahnya dan Susan, pacar si ayah, ia selalu sinis.

Sikap soliter Amy menuntunnya ke aktivitas yang amat personal. Di satu hari yang murung dilihatnya buldozer pengembang properti yang dibenci ayahnya memapras lahan di tubuh bukit. Angsa-angsa (Canada geese) yang tinggal di sana ketakutan dan dengan sendirinya terusir. Di celah pohon yang roboh Amy menemukan beberapa butir telur angsa yang terpaksa ditinggalkan induknya. Telur-telur ini kemudian menjadi bagian dari kesendirian Amy sekaligus pintu masuk ke rangkaian petualangan yang menggemparkan.  

Thomas tidak menyukai kebiasaan gusur-gusur lahan hijau demi kompleks bangunan namun tidak serta-merta tergerak memikirkan suaka bagi satwa-satwa yang jadi korban. Sebab ia sudah begitu sibuk menyempurnakan temuan-temuannya. Justru anakan-anakan angsa yang netes di laci itu yang kemudian mengeratkan hubungannya dengan putrinya, dan mendorong Thomas lebih sering meninggalkan gudang kerjanya yang bernaga itu.  

Adegan bayi-bayi angsa “lahir” direkam sutradara Carroll Ballard dengan telaten, dengan hati: kerendahan hati terhadap keagungan Pencipta. Ballard adalah sineas terhormat karena tidak pernah memikirkan trend, ketrampilannya khas Hollywood tapi dimanfaatkannya untuk membekaskan karakter pada tiap anak dan orang dewasa yang menyaksikan filmnya. Karya-karya Ballard sedikit tapi seluruhnya – seperti disebut kritikus Roger Ebert – merupakan “visionary films about man and nature”.

Dalam Black Stallion (1979) diletakkannya hati pada seekor kuda dan dengan Never Cry Wolf (1983) Ballard berdiri di kubu srigala-srigala yang terancam pembasmian sistemik. Sebagaimana Never Cry Wolf yang berdasar otobiografi konservasionis Farley Mowat, Ballard membuat Fly Away Home dari pengalaman William Lishman memandu migrasi angsa dengan pesawat ultralight.

Hadirnya angsa-angsa kecil itu ke bumi tanpa didampingi ibunya menandai “kelahiran kembali” Thomas dan Amy. Dan inilah petualangan besar itu: Amy dan ayahnya harus mengajari terbang dan nantinya membimbing mereka melakukan migrasi. Dari Ontario, Kanada, ke North Carolina, AS! Sebab anak-anak angsa itu sudah terpisah dari komunitasnya dan tak tahu caranya migrasi untuk menyelamatkan diri dari sekapan musim dingin. 
 
Mengenai proses terbang jauh bersama-sama itu tidak ada gunanya ditulis di sini karena tidak akan sanggup menandingi tantangan dan kegairahan yang ditampilkan filmnya. Namun di sela-selanya ada beberapa hal yang interesan untuk direnungkan. Misal soal aparat. Ada aparat yang begitu setia pada textbook  sampai hendak memotong urat sayap seekor anak angsa di hadapan Amy yang jelas-jelas amat menyayangi angsa-angsanya. Orang ini saking loyalnya malah jadi obsesif.

Tapi wajah teduh justru tampil di Niagara Air Force Base. Tentara-tentara dalam barisan melepas rombongan Amy dengan penghormatan resmi. Presenter berita tv menyampaikan substansinya, “Commanding General Olin Hatfield says he never seen such an inspirational sight.”   

Kapital selalu berusaha memanjakan kita tapi tidak akan berpartisipasi untuk turut menanggung akibatnya. Tapi teknologi, seni, serta hobi seperti dimiliki Thomas dan staf negara yang jernih dan ngemong sebagaimana Jenderal Hatfield bisa menjadi pegangan untuk selalu berpulang ke kesejatian dan keseimbangan.

“I wish she was here now,” Amy terkenang ibunya menjelang akhir perjalanan.

“She is,” bisik ayahnya. “She’s right next to you. She’s in the geese.”     

Adam Herdanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar