Kamis, 19 April 2012

KELAS CAPUNG

“Tidak ada mahluk yang diciptakan untuk dekorasi ..”

Seorang guru yang jarang mandi membawa murid-muridnya yang bersih dan wangi ke mata air Wendit yang dulu disucikan Suku Tengger dan habitat kera ekor panjang. Koloni primata itu tinggal kenangan tapi panorama orang mandi belum jadi album masa lalu. Masing-masing murid membawa kamera, tapi tidak demi mengabadikan para putri berbasuh, tidak untuk potret-potretan di waterpark. Mereka ke sana demi capung.

Karena ternyata capung itu indah, tak kalah seksi dari kupu-kupu (dan warga yang mandi), maka indah jugalah foto-foto yang mereka hasilkan. Tapi jika berpuas hati dengan keindahan visual dan merasa cukup merayakannya di jejaring sosial, tak ada gunanya guru itu jarang mandi. Buat apa lekat dengan lumpur, akar kangkung dan kubangan pestisida jika tidak benar-benar berselam di dalamnya? Maka kemudian menjadi tak bedalah aroma murid dengan gurunya ...

Anak-anak SMA dari satu sekolahan di Jalan Dempo di kota Malang itu lantas mewujudkan diri menjadi Indonesia Dragonfly Society (IDS). Nama yang gagah, dan syukurlah diikuti perbuatan dan aktivitas yang gagah pula (berhubungan urusannya adalah capung, bukan elang atau macan, dengan sendirinya mereka jauh dari gagah-gagahan).

Langkah dan tingkah-polah mereka patut diikuti pertama-tama bukan karena sudah dibahas KOMPAS dan diundang Konsulat Amerika Serikat, melainkan karena sanggup membuka kebuntuan kaum remaja yang rasanya kini begitu seragam minat dan pola hidupnya. Bahwa para remaja, siswa-siswa sekolah menengah, bisa melakukan kegiatan extraordinary untuk sesama.  Sebab jika Anda tak pernah lagi menemukan capung di lingkungan Anda, hati-hati, mungkin air di sana sudah tidak mutu. Tidak ada mahluk yang diciptakan untuk dekorasi, dan capung adalah indikator kualitas air di sekitar kita, penanda lingkungan yang (masih) cukup sehat.

Di usia belia remaja-remaja itu sudah terbiasa melakukan riset, observasi di lapangan, mempelajari setumpuk referensi berbahasa Inggris (karena yang Indonesia sama jarangnya dengan buku Max Havelaar), berkorespondensi dengan perkumpulan peneliti capung sejagad, dan menerbitkan buku. Mereka berani berdiri paling depan mengupayakan perbaikan habitat capung agar manfaatnya bagi kita tidak lenyap digerus swalayan.

Meski sudah berkotor-kotor dan mengalokasikan uang sendiri untuk merealisasikan program-programnya, apa yang mereka lakukan tidak akan ada pengaruhnya pada nilai di sekolah dan kesuksesan kelak. Tapi tidak ada yang lebih berharga timbang bobot seseorang sebagai manusia dan mereka menempanya dari hal kecil, dari tempat berlumpur.


Teks : Adam Herdanto         Foto : Ichsan R. Anggoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar