“Tidak ada mahluk yang diciptakan untuk dekorasi ..”
Seorang
guru yang jarang mandi membawa murid-muridnya yang bersih dan wangi ke mata air
Wendit yang dulu disucikan Suku Tengger dan habitat kera ekor panjang. Koloni
primata itu tinggal kenangan tapi panorama orang mandi belum jadi album masa
lalu. Masing-masing murid membawa kamera, tapi tidak demi mengabadikan para
putri berbasuh, tidak untuk potret-potretan di waterpark. Mereka ke sana demi capung.
Karena
ternyata capung itu indah, tak kalah seksi dari kupu-kupu (dan warga yang
mandi), maka indah jugalah foto-foto yang mereka hasilkan. Tapi jika berpuas
hati dengan keindahan visual dan merasa cukup merayakannya di jejaring sosial,
tak ada gunanya guru itu jarang mandi. Buat apa lekat dengan lumpur, akar
kangkung dan kubangan pestisida jika tidak benar-benar berselam di dalamnya?
Maka kemudian menjadi tak bedalah aroma murid dengan gurunya ...
Anak-anak
SMA dari satu sekolahan di Jalan Dempo di kota Malang itu lantas mewujudkan
diri menjadi Indonesia Dragonfly Society (IDS). Nama yang gagah, dan syukurlah
diikuti perbuatan dan aktivitas yang gagah pula (berhubungan urusannya adalah
capung, bukan elang atau macan, dengan sendirinya mereka jauh dari
gagah-gagahan).
Langkah
dan tingkah-polah mereka patut diikuti pertama-tama bukan karena sudah dibahas
KOMPAS dan diundang Konsulat Amerika Serikat, melainkan karena sanggup membuka
kebuntuan kaum remaja yang rasanya kini begitu seragam minat dan pola hidupnya.
Bahwa para remaja, siswa-siswa sekolah menengah, bisa melakukan kegiatan extraordinary untuk sesama. Sebab jika Anda tak pernah lagi menemukan
capung di lingkungan Anda, hati-hati, mungkin air di sana sudah tidak mutu.
Tidak ada mahluk yang diciptakan untuk dekorasi, dan capung adalah indikator
kualitas air di sekitar kita, penanda lingkungan yang (masih) cukup sehat.
Di usia
belia remaja-remaja itu sudah terbiasa melakukan riset, observasi di lapangan,
mempelajari setumpuk referensi berbahasa Inggris (karena yang Indonesia sama
jarangnya dengan buku Max Havelaar), berkorespondensi
dengan perkumpulan peneliti capung sejagad, dan menerbitkan buku. Mereka berani
berdiri paling depan mengupayakan perbaikan habitat capung agar manfaatnya bagi
kita tidak lenyap digerus swalayan.
Meski
sudah berkotor-kotor dan mengalokasikan uang sendiri untuk merealisasikan
program-programnya, apa yang mereka lakukan tidak akan ada pengaruhnya pada
nilai di sekolah dan kesuksesan kelak. Tapi tidak ada yang lebih berharga
timbang bobot seseorang sebagai manusia dan mereka menempanya dari hal kecil,
dari tempat berlumpur.
Teks :
Adam Herdanto Foto : Ichsan R.
Anggoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar